MANGGARAI TIMUR DALAM BERITA
"Peting Ghan Nalun Weru", Ritual Sakral Suku Nggai di Flores
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Peting Ghan Nalun Weru", Ritual Sakral Suku Nggai di Flores", https://travel.kompas.com/read/2018/04/23/064200627/-peting-ghan-nalun-weru-ritual-sakral-suku-nggai-di-flores.
Penulis : Kontributor Manggarai, Markus Makur
Editor : I Made Asdhiana
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Peting Ghan Nalun Weru", Ritual Sakral Suku Nggai di Flores", https://travel.kompas.com/read/2018/04/23/064200627/-peting-ghan-nalun-weru-ritual-sakral-suku-nggai-di-flores.
Penulis : Kontributor Manggarai, Markus Makur
Editor : I Made Asdhiana
"Peting Ghan Nalun Weru" Ritual Sakral Suku Nggai di Flores
https://travel.kompas.com/read/2018/04/23/064200627/-peting-ghan-nalun-weru-ritual-sakral-suku-nggai-di-flores
Anak ranar = pemberi pengantin perempuan dalam struktur budaya Manggarai Timur
Anak laran = penerima anak gadis.
Pantangan dalam acara ini: Anak laran dilarang makan daging ayam yang diritualkan anak ranar dalam acara ini.
Nasi (Nalun) digosokkan di tubuh perempuan. Perempuan dilarang makan nasi (nalun) dalam acara ini.
Tersedia 5 sirih dan pinang pada nyiru: simbol 5 perempuan suku lain yang menikah dengan 5 laki-laki suku Ngai .
"Peting Ghan Nalun Weru" = Peting = syukuran, ghan = makan, nalun = nasi, weru = baru.
BORONG, KOMPAS.com -
Saat senja tiba di ujung Barat Pulau Flores, saya beranjak dari rumah di
Kota Waelengga menuju ke Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur,
Selasa (3/4/2018).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Peting Ghan Nalun Weru", Ritual Sakral Suku Nggai di Flores", https://travel.kompas.com/read/2018/04/23/064200627/-peting-ghan-nalun-weru-ritual-sakral-suku-nggai-di-flores.
Penulis : Kontributor Manggarai, Markus Makur
Editor : I Made Asdhiana
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Peting Ghan Nalun Weru", Ritual Sakral Suku Nggai di Flores", https://travel.kompas.com/read/2018/04/23/064200627/-peting-ghan-nalun-weru-ritual-sakral-suku-nggai-di-flores.
Penulis : Kontributor Manggarai, Markus Makur
Editor : I Made Asdhiana
Podo Puzu, Ritual Mistis Suku Kengge di Flores
Kompas.com - 04/12/2017, 08:12 WIB
Ketika matahari mulai terbit, tetua adat bersama dengan pemilik lahan dalam ulayat Suku Kengge berkumpul di rumah adat di Kampung Padarambu, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Sabtu (2/12/2017).
Warisan leluhur itu disebut Podo Puzu, ritual mistis Suku Kengge di Flores. Sebelum dilaksanakan ritual mistis itu, terlebih dahulu mereka melaksanakan ritual pertama di Mbaru Meze, rumah adat Suku Kengge.
(Baca juga : Mbaru Gendang Ruteng Puu, Kampung Adat Tertua di Flores Barat)
Sesuai kepercayaan Suku Kengge, Puzu adalah binatang jahat yang selalu merusak padi, jagung dan tumbuhan lainnya. Binatang itu tidak bisa dimusnahkan dengan obat-obatan kimiawi.
Tetua adat Suku Kengge sudah mengetahui bahwa apabila binatang itu secara bergerombol memasuki lahan persawahan dan ladang serta merusak batang padi dan jagung, serta tumbuhan lainnya maka tetua adat harus melaksanakan ritus adat.
Binatang itu datang dari laut. Tua-tua adat Suku Kengge sesuai yang diwariskan leluhurnya mengetahui tanda-tanda ketika binatang ini ada di lahan persawahan dan ladang.
(Baca juga : Berjemurlah di Pantai Liang Mbala, Flores, Rasakan Sensasinya...)
Pemilik lahan persawahan dan ladang dalam ulayat Suku Kengge menginformasikan bahwa terjadi bencana belalang. Untuk itu, tetua adat Suku Kengge berkumpul dan membahasnya akan bencana belalang tersebut.
Selanjutnya tetua adat suku Kengge menginformasikan kepada pemilik lahan persawahan dan ladang bahwa untuk mengatasi bencana itu dilaksanakan ritual adat sesuai yang diwariskan nenek moyangnya.
"Binatang itu kita hormati dengan upacara adat karena binatang itu memiliki tuannya. Sebelum kita mengantar binatang itu, terlebih dahulu kita memberikan sesajian kepada Mori Tana, Naga Tana, pemilik binatang yang menjaganya selama ini. Tuan dari binatang itu ada di laut karena sejak ratusan tahun silam, binatang itu secara bergerombolan datang dari arah laut," kata Kepala Suku Kengge, Leonardus Wendo kepada KompasTravel di Mbaru Meze suku itu di bilangan Padarambu, Sabtu (2/12/2017) seusai ritual itu.
"Kita memperlakukan binatang itu seperti Yang Mulia. Kita mengantarnya dengan penuh hormat dengan ritual podo puzu," sambungnya.
Wendo
menjelaskan, tua adat Suku Kengge mempersiapkan seekor ayam serta tujuh
batang bambu kecil yang berisi beras. Orang Kengge menyebut kolo atau
nasi bambu.Nasi bambunya harus ganjil dan sudah ditentukan secara turun temurun adalah tujuh batang bambu. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Selanjutnya, tua adat berjalan dari Mbaru Meze menuju sungai.
Tua adat bersama dengan pemilik lahan dalam ulayat Suku Kengge itu menuju ke Sanggan, pertemuan antara dua kali besar. Saat acara dilangsungkan di pertigaan antara Sungai Waekoe dan Sungai Waemokel.
Menurut Wendo, sebelum dilakanakan ritus adat, terlebih dahulu disiapkan sebuah perahu yang terbuat dari pelepah pohon pisang. Tetua adat yang sudah ditentukan adalah David Ndau melaksanakan ritus-ritus adat dengan bahasa adat setempat.
Wendo
menjelaskan, dalam dialek Suku Kengge, Podo berarti antar dan Puzu
berarti binatang belalang. Jadi podo puzu adalah ritual yang diwariskan
leluhur Suku Kengge untuk mengantar binatang belalang kepada tuannya di
laut. Selain binatang belalang, ikut serta juga tikus, manggot, walang
sangit, mbolong, keong mas.
Tua adat lainnya, David Ndau
menjelaskan, ritual ini harus dilaksanakan setiap tahun agar binatang
belalang, tikus, keong mas dan walang sangit tidak merusak tanaman milik
petani yang berada di ulayat Suku Kengge. Ritual itu harus dilaksanakan
di pinggir sungai. Bahkan, dilaksanakan di sudut dua sungai tersebut.“Saya ditentukan oleh tetua adat Suku Kengge untuk membawakan ritus-ritus adat sebelum binatang itu berlayar menuju tuannya, mori tana dan naga tana. Sesuai kepercayaan Suku Kengge bahwa semua makhluk di dunia ini memiliki tuannya yang harus saling menghormati,” katanya.
David Ndau menjelaskan, hal-hal yang diperhatikan saat pulang ke rumah, tua adat dan orang-orang yang hadir saat berjalan dari tempat upacara tidak boleh menoleh atau melihat ke belakang.
“Ada
nilai-nilai mistis saat dilangsungkan ritus-ritus podo puzu. Intinya
kita manusia yang masih hidup menghormati leluhur dan mori tana dan naga
tana. banyak petunjuk-petunjuk leluhur yang memberikan kebaikan kepada
keturunannya,” katanya.
Perempuan Dilarang Ikut RitualTetua adat lainnya, David Jani menjelaskan, nenek moyang Suku Kengge sudah diberi petunjuk pada ratusan tahun yang silam bahwa ritual podo puzu tidak boleh dihadiri oleh kaum perempuan. Ini merupakan aturan-aturan adat lisan yang harus ditaati oleh keturunan dari Suku Kengge.
Saat dilangsungkan ritual ini, kaum perempuan dari Suku Kengge berada di dalam Mbaru Meze untuk mempersiapkan hidangan adat ketika tua-tua adat bersama dengan pemilik lahan pulang ke Mbaru Meze.
“Kami sebagai turunan dari nenek moyang Suku Kengge tidak mengetahui mengapa perempuan dilarang mengikuti ritus-ritus podo puzu. Kami menaati aturan adat yang secara lisan tersebut,” katanya.
Irong
Kepala Suku Kengge, Leornadus Wendo menjelaskan, ada kelanjutan dari ritus itu yang harus ditaati. Pada hari kedua sesudah ritual podo kuzu, maka ada Irong, dilarang bekerja.
Mulai dari tuan tana dari Suku Kengge sampai dengan pemilik lahan persawahan dan ladang dalam ulayat Suku Kengge dilarang untuk bekerja dan menyentuh padi, jagung dan tumbuhan lainnya. Jika larangan ini tidak dituruti maka bencana belalang kembali terjadi, di mana belalang dan binatang lainnya akan datang ke lahan persawahan dan ladang untuk merusak berbagai jenis tanaman.
“Sesudah ritual podo puzu dilaksanakan maka saya mengumumkan secara resmi kepada seluruh pemilih lahan persawahan dan ladang untuk tidak boleh bekerja. Semua menaatinya dan jika ada yang melanggar maka bencana belalang akan terjadi lagi,” ujarnya.
Jangan Lupa Ritus adat
Yoseph Geong, salah satu pemilik lahan di ulayat Suku Kengge kepada KompasTravel, Sabtu (2/12/2017) menjelaskan, sebagai manusia yang hidup di zaman serba teknologi ini agar tidak boleh melupakan ritual-ritual adat yang membawa kebaikan dan kemakmuran.
Geong
mengungkapkan, manusia harus taat kepada ritual-ritual adat yang
diwariskan leluhur. Jangan mengandalkan obat-obatan kimia untuk membasmi
binatang-binatang yang merusakan tanaman kita. Manusia harus saling
menghormati dan menghargai makhluk lain yang hidup di alam yang sama.
“Saya
sering mengingatkan dan menasihati generasi muda di zaman milenial ini
agar tidak melupakan tradisi-tradisi yang membawa kebaikan bersama. Kita
lahir dari berbagai ritus-ritus adat yang diwariskan nenek moyang.
Jangan sekali-kali melupakan tradisi yang dianut dalam keluarga dan
masyarakat umum,” katanya.Geong menjelaskan, ada kekeliruan yang dilakukan generasi milenial saat ini, di mana generasi milenial selalu membangga-banggakan teknologi dan produk-produk kimiawi sehingga mulai melupakan tradisi.
“Kita tidak menolak perkembangan zaman dengan kecanggihan yang ditawarkannya. Kita yang mengelola perkembangan zaman. Kita jangan cepat terlena dengan perkembangan-perkembangan teknologi,” katanya.
Hujan Turun
Geong menjelaskan, dirinya selalu mengikuti ritual ini setiap tahun dan terbukti di luar akal manusia bahwa sesudah ritual ini dilaksanakan maka terjadi hujan yang sangat lebat. Jika hujan turun maka leluhur dan mori tana serta naga tana merestui ritual ini.
“Mistis dari ritus itu adalah akan terjadi hujan lebat secara tiba-tiba di seluruh wilayah ulayat Suku Kengge. Ini terjadi secara alamiah yang dialami manusia yang memahami tradisi-tradisi dan ritus-ritus adat,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar