Jumat, 02 Februari 2018

TINJAUAN TENTANG MANGGARAI


 TINJAUAN TENTANG MANGGARAI

Ilmu Kuku Tumpul:  narasi rufinus lahur

Gerard N. Bibang is with Max Adil and 37 others.
December 29, 2017 ·


December 29, 2017 ·
Ilmu Kuku Tumpul
narasi rufinus lahur
oleh gerard n bibang
Orang bisa sakit berkepanjangan tanpa kunjung maut menjemputnya. Tapi tidak untuk Rufinus Lahur. Ia pergi justru ketika sanak keluarga meyakini keadaannya baik-baik saja setaraf usianya. Seminggu sebelumnya , Minggu 17 Desember, di Aula sekolah Santo Antonius Matraman, ia dengan piawai membakar semangat para perempuan Manggarai yang tergabung dalam KPM untuk kembali bersinar meretas batas kemanggaraian, menjulurkan kuncup2 kembang ke penjuru semesta karena seorang perempuan Manggarai sejatinya adalah sebuah ‘wela’, sebuah kuncup yang memekarkan kehidupan dan keindahan, mengaromi semesta hingga ke batas2 lima samudera.
Kepergiannya dalam keadaan baik-baik saja ini berwarta kepada semua tentang iman tradisionalnya sebagai orang Manggarai, yang ia hayati selama tujuh puluh sembilan tahun hidupnya. Yaitu takdir Mori Kraeng (=Tuhan) tak bisa dicegat. Bahwa kehendak Mori Kraeng tak sudi dipergoki. Bahwa hak Mori Kraeng atas misteri garis terang dan gelap kehidupan, serta atas ketentuan detik maut dihadirkan, tak pernah IA buka sedikitpun untuk dirumuskan oleh segala ilmu dan pengalaman.
Dalam iman tradisional orang Manggarai sudah terpateri sebuah pengetahuan akal dan kesadaran batin bahwa seorang manusia akan mati dan itu bisa berlaku tidak dalam 80 atau 100 tahun yang akan datang, melainkan bisa besok pagi-pagi menjelang masuk kantor atau lagi minum kopi atau sehabis makan malam atau kapan saja.
Dempul Wuku Tela Toni
Dari manakah Rufinus memperoleh kesadaran ini? Tentu dari rahim ibu bumi Manggarai yang melahirkan, menyusui dan menghidupinya. Ketika ia dilahirkan di Tenda 15 Juli, 79 tahun silam, leluhur bumi Manggarai meniupkan roh dempul wuku tela toni, kuku tumpul punggung terbelah, ke dalam nadi dan darah bayi Lahur agar bekerjalah sekeras-kerasnya sambil berdoa seikhlas-ikhlasnya.
Ketika hendak berangkat mengais ilmu di tanah rantau, roh dempul wuku tela toni, kuku tumpul punggung terbelah, ini sekali lagi ditiupkan dalam ritual wuat wa’i, sebuah doa pemberangkatan seorang ke tanah asing sambil menyerahkan hidupnya ke dalam penyelenggaraan Ilahi.
Bekerja dan berdoa, yang kemudian dikenalnya dari para misionris tua Belanda dengan istilah ora et labora itu, lambat laun menjadi watak seorang pemuda Rufinus, yang meyakini kehadiran Mori Keraeng di mana-mana atau omnipresentia Ilahi melalui wajah manusia, alam, keadaan atau siapa saja yang ditemui dalam tali perjumpaan.
Maka, jadilah Rufinus seorang yang beriman cerdas. Yaitu iman yang selalu mencari pengertian dan pencerahan. Yang selalu keluar untuk berjumpa dengan siapa saja karena setiap perjumpaan adalah pencerdasan. Yang selalu berdiskusi dan berbicara apa saja tentang kehidupan. Yang berbahagia bila melihat adik-adik dan anak-anaknya semakin cerdas, lebih2 kalau bergelar sarjana, doktor dan profesor. Yang selalu belajar memahami agar bisa lebih beriman dan pada gilirnya iman yang lebih dalam itu memicunya untuk terus belajar mencari pencerahan tanpa mengenal usia tua.
Inilah Rufinus Lahur yang kita kenal. Setiap perjumpaan, terbanyak waktu misa KKM, misa dalam budaya dan bahasa Manggarai di Jakarta dan pertemuan diskusi seperti peluncuran buku, asalkan di-sms, tanpa perlu mengundangnya melalui surat berkop resmi, dia pasti selalu hadir. Selalu hadir sebelum waktu (bukan on time persis waktu dimulai) dan pulang setelah semua acara selesai. Selalu berbicara, berisi, runtut sistematis, singkat dan konsisten.
Ada tesis yang selalu berulang-ulang ia ucapkan di berbagai kesempatan dan acara dengan formulasi beragam. Untuk menyebut beberapanya: Manggarai itu adalah puisi, melalui kata dan lagu; Manggarai itu injil, kitab suci, adalah sabda Tuhan, adalah wahyu; Orang Manggarai itu seni, puitis; Kata-kata manggarai itu adalah lagu; Bunyinya adalah lagu, bukan kata; Keselamatan tidak perlu jauh-jauh dicari. Pergi ke Manggarai. Dan sebagainya.
Selain itu: egaliter dan fraternal. Inilah Rufinus kita. Saya misalnya selalu dipanggil dengan nama. Selalu dengan suara kencang. Baik dari jarak jauh maupun dekat. Tapi lebih banyak dia panggil saya dengan kata Jerman ’du’ (=kau) bukan ‘Sie’ (Tuan, Anda). Sungguh suatu penghargaan bagi saya yang tidak ada apa2nya ini.
Dia adalah orang besar, pemikir besar, penulis besar, cendekiawan besar. Tapi dia memperlakukan saya secara akhrab dan sejajar. Saya adalah du, bukan Sie. Saya pun kemudian selalu menyapanya dengan ‘du’ dan bukan ‘Sie.’
Jangan lupa, ini sisi lain dari Rufinus kita. Ialah melucu-lucu. Namun lucu-lucunya cerdas dan intelektual. Begitu misalnya waktu acara bedah buku Gereja Itu Politis, karya Rikard Rahmat di Gedoeng Joeang beberapa tahun silam, dalam konteks pendidikan dasar yang dilakujkan gereja katolik di Manggarai, ia tiba pada pernyataan yang ia peroleh dari pengalamannya selama berada di Jerman. Ia berkata: engkau adalah apa yang engkau makan! Sambil melihat ke arah saya, dia berkata: Gerard, bu bist was du isst, kau adalah apa yang kau makan! Semua hadirin tertawa.
Ketika beberapa bulan kemudian waktu bedah buku Gereja Menyapa Manggarai, dalam rangka 100 tahun gereja katolik Manggarai di Aula Justinus Atmajaya Jakarta, tepatnya waktu makan siang, saya melihat dia ambil ubi tatas. Lalu dari jauh saya teriak: “Du bist was du isst, kau adalah apa yang kau makan.” Dia menoleh ke arah saya dan tertawa lepas. Belum pernah saya mendengar dia tertawa seledak itu.
Dia mendekati saya, berkata: ‘Bukan Gerard, weisst du noch nicht ja (= kau belum tahu ya), sudah berubah.“
‘Na du, sudah ubah lagi ka?”
“ Sudah ganti, sekarang jadi: du bist was du sagst, du bist was du schreibst : kau adalah apa yang kau omong, kau adalah apa yang kau tulis.
“Wouww filosofis, teologis dan biblis sekaliiiiii”
Dia tertawa. Lalu meninggalkan saya mengambil jenis makanan lain: soup sayur. Dan saya tidak melihat dia mengambil nasi putih.
Ilmu Kuku Tumpul
Kini, ketika Rufinus pergi, kita bertanya ilmu apa yang kita petik dari seorang Rufinus.
Ini jawabku: Ilmu dempul wuku tela toni. Ilmu kuku tumpul punggung terbelah.Dalam ilmu kuku ttumpul, menjadi cerdas adalah panggilan setiap orang beriman. Bahwa awal mula imanlah yang memecut seseorang untuk terus menerus mencari pencerahan.
Dalam ilmu kuku tumpul, hidup manusia memang menjadi tua dan redup tapi mencintai adalah kewajiban pemanusiaan. Sebuah cinta yang benar ialah cinta yang tidak pernah diikat dunia. Yang tidak terpanggul oleh ruang dan waktu. Tapi memberi dan memberi hingga kematian menjemput.
Dalam terang ilmu kuku tumpul dempul wuku tela toni, seseorang berpikir efisien dengan tidak menghabiskan tenaga dan waktu untuk kesementaran, melainkan untuk keabadian dan tidak menumpahkan profesionalisme untuk menggapai uang, harta, rumah besar, nama besar dan sebagainya, yang toh tidak akan menyertainya selama-lamanya.
Kini setelah dia pergi dan kamu merenung kembali pernyataannya yang sering tidak masuk akal, orang manggarai itu puitis, manggarai itu puisi, manggarai itu injil dan khabar gembira, lalu kamu datang kepadaku bertanya siapakah manusia manggarai yang puitis itu?
Ini jawabanku: Manusia manggarai adalah resonansi gelombang Tuhan Mori Kraeng Yang Maha Abadi, yang dibuntu dan ditimbun oleh segala jenis peradaban materialisme, namun bisa ditembus dengan lembutnya pengalaman sastra dan puisi dalam bentuk kata dan nada.
Sebab apakah puisi itu dalam hidup orang Manggarai? Puisi, kata dan sastra adalah energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya atau sejati. Adalah nyawa sehari-hari di dalamnya seorang manusia Manggarai bergerak pas dan selalu menyenangkan. Serta membuat hatinya menjadi seluas samudera dan setiap orang yang dijumpainya mendapat tempat di dalamnya.
Kini, setelah ia mempraktekkan selama 79 tahun ilmu kuku tumpul, maka terang benderanglah di depan kita apa yang disebut nikmat-nikmat Manggarai.
Bahwa rasanya nikmat itu tidak selalu berarti kalau karier sukses, pendapatan berlimpah, rumah dan saham bertebaran di mana-mana, kita jadi boss, kita punya kelebihan di atas banyak orang, mereka semua lebih rendah dari kita, semua orang menunduk dan tinggal kita perintah-perintah.
Bahwa nikmat itu ialah menjadi orang yang merangkum sebanyak mungkin orang. Bahwa yang dimaksud keluarga kita bukanlah sebatas sanak famili dan koneksi, melainkan meluas ke sebanyak mungkin saudara-saudara sesama manusia.
Bahwa keberlimpahan kita adalah keberlimpahan banyak orang. Saham kita adalah saham harapan banyak orang. Kebahagiaan kita adalah bank masa depan orang banyak.
Dan ini semua telah ia lakukan dengan tuntas hingga kematiannya. Bahagia di surga, Amin.
****
(gnb:tmn aries:jkt:jumat 29.12.2017: misa tutup peti di RD St Carolus, Jakarta)

LikeShow more reactions
Comment

Tidak ada komentar:

Posting Komentar